JAKARTA – Ketua Komisi Pengaduan dan juga Penegakan Etika Pers Yadi Hendriana menyebut, upaya merenggut kebebasan pers telah lama direalisasikan sejak 17 tahun silam. Namun, upaya merenggut kebebasan pers kali ini secara langsung menyerang jantung dan juga mahkota pers.
Adapun yang digunakan dimaksud ialah munculnya revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran. Yadi memandang rancangan revisi ini bak petir di dalam siang bolong.
“Kalau di 2007, 2017, 2020 itu (upaya merenggut kebebasan pers) masih kita bisa jadi manage, kita sanggup bicara tapi di tahun 2024 itu luar biasa sebab dengan segera untuk jantungnya,” kata Yadi dalam Gedung Dewan Pers, Rabu (15/5/2024).
Yadi mengumumkan revisi itu menyerang kewenangan Dewan Pers yang tersebut sebenarnya telah termaktub dalan Nomor 40 Tahun 1999. Serangan kedua disebut segera untuk mahkota yang digunakan pada pasal RUU Penyiaran itu melarang adanya jurnalisme investigasi.
“Jantungnya apa? Merebut kewenangan Dewan Pers yang mana ada pada UU Pers Pasal 15. Jantung yang mana kedua, merebut mahkota pers dengan melarang jurnalisme investigasi. Sedangkan jurnalisme investigasi itu adalah roh daripada jurnalisme. Jika kedua itu direbut, selesai. Kita tak punya lagi kebebasan pers,” sambungnya.
Oleh sebabnya, Dewan Pers bersatu seluruh komunitas pers menolak revisi UU Penyiaran. Yadi meyakini kebebasan pers memberikan faedah yang tersebut luar biasa untuk warga Indonesia.
“Mereka itu merasa pers ini terlalu bebas padahal lupa bahwa Negara Indonesia bisa saja sebesar ini, demokrasi dapat sebesar ini, kemudian komunitas dapat mendapatkan informasi yang tersebut balance di dalam luar kekurangan serta kelebihan pers selama ya freedom of expression, serta kebebasan pers ini menyebabkan faedah yang digunakan luar biasa,” tegasnya.
Artikel ini disadur dari Soal Revisi UU Penyiaran, Anggota Dewan Pers: Ada Upaya Merenggut Kebebasan Pers