Jakarta (ANTARA) – Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menyebutkan rencana kebijakan insentif untuk hybrid electric vehicle (HEV) mungkin menghambat kemajuan habitat BEV (battery electric vehicle) di Indonesia.
Dalam pernyataan pers yang dimaksud diterima di dalam Jakarta, Kamis, pemerintah Tanah Air sedang mempertimbangkan untuk meningkatkan insentif kendaraan HEV guna mempercepat tujuan netralitas karbon pada tahun 2060.
Namun, langkah ini dianggap dapat mempengaruhi kemajuan lingkungan BEV ke Indonesia yang mana telah terjadi menunjukkan pertumbuhan positif. Jika habitat BEV terhenti, hal ini dapat menghambat pembaharuan kemudian keberlanjutan lapangan usaha otomotif domestik.
“Tren perdagangan mobil hybrid tentu akan meningkat pada saat insentif diberlakukan, sehingga bisa saja mendistorsi pangsa lingkungan ekonomi mobil listrik ke tanah air. Namun, rencana kebijakan insentif untuk HEV berkemungkinan menghambat kemajuan ekosistem BEV di Indonesia, ” ujarnya.
Indonesia telah miliki pabrik perakitan kendaraan listrik yang digunakan akan didukung oleh pabrik sel kendaraan listrik, sehingga memungkinkan BEV untuk terus mengalami perkembangan berkat kemajuan di teknologi juga baterai.
Baca juga: Kemenkomarves harap insentif pajak hadirkan lebih besar sejumlah opsi EV
Baca juga: Kemenkeu sebut insentif pajak fasilitasi tes lingkungan ekonomi kendaraan listrik
Infrastruktur yang tersebut lengkap ini dapat membantu memajukan lapangan usaha komponen di negeri yang tersebut dapat menciptakan lebih tinggi banyak lapangan kerja. Seiring munculnya BEV sebagai kemajuan teknologi pada lapangan usaha otomotif, tren global secara kuat memperkuat perkembangannya.
Laporan Media Reuters memperkirakan total pengeluaran oleh produsen mobil global akan mencapai 1.2 triliun dolar Amerika Serikat (atau sekitar Rp19 kuadriliun) pada EV, baterai, kemudian material-materialnya pada tahun 2030.
Sementara itu, dibandingkan dengan HEV yang tersebut telah berada pada tahap teknologi yang matang, kemungkinan besar BEV tidaklah menawan penanaman modal yang dimaksud signifikan ke sektor otomotif Indonesia.
Rencana kebijakan insentif untuk HEV ini dapat berubah jadi hambatan bagi penanaman modal berkelanjutan dari jenama-jenama yang digunakan sudah mendirikan habitat BEV pada Indonesia, serta dikhawatirkan dapat mengganggu keberlanjutan habitat BEV di dalam masa depan.
Penyertaan Modal besar akan diperlukan untuk mendirikan prasarana manufaktur sel baru kemudian mengembangkan komponen elektronik untuk BEV.
Selain itu, BEV memiliki peluang yang dimaksud lebih lanjut besar pada menghurangi emisi gas rumah kaca (GHG) dibandingkan HEV.
Studi oleh International Council on Clean Transportation (ICCT) pada tahun 2023 menunjukkan bahwa BEV mampu menghurangi siklus hidup GHG sebesar 47 persen dibandingkan dengan kendaraan berbahan bakar fosil, sementara HEV cuma mampu menghurangi 26 persen.
Oleh oleh sebab itu itu, fokus pada BEV akan lebih tinggi efektif pada mencapai tujuan netralitas karbon lalu menggalang pengembangan teknologi energi terbarukan di sektor otomotif.
“Dengan mempertimbangkan semua unsur ini, penting bagi pemerintah Negara Indonesia untuk menyeimbangkan kebijakan insentifnya agar tak menghambat kemajuan habitat BEV yang dimaksud telah mulai berkembang,” kata Ahmad.
Baca juga: Kemenko Marves tekankan insentif penting untuk kendaraan listrik
Baca juga: Pemerintah beri insentif pajak barang mewah untuk mobil listrik
Baca juga: Rencana insentif mobil listrik CBU lalu dilema kemandirian energi
Artikel ini disadur dari Pakar sebut rencana insentif HEV dapat menghambat keberlanjutan BEV