Makarim Wibisono
Pengamat Hubungan Internasional juga Lingkungan Hidup
SEMUA negara dirasa penting memperbaiki persepsi globalnya serta merancang soft power untuk kebijakan luar negerinya. Menurut Anholt (2015) terdapat empat atribut yang mana mempengaruhi kedudukan suatu negara pada hubungannya dengan negara lain, yaitu: moralitas, estetika, kekuatan, kemudian relevansi.
Moralitas berkaitan dengan nilai nilai luhur yang mana dianut pemimpinnya, penduduknya, juga swasta juga institusi publiknya. Kedudukan moral yang mana jelas merupakan soft power yang tersebut paling efektif bagi negara manapun. Estetika dilihat dari harmoni masyarakat, keindahan lingkungan alam serta lingkungan buatannya, kecanggihan produk-produk lalu hasil budayanya yang digunakan dipandang indah sehingga enak dipandang atau dilihat oleh indera.
Kekuatan berkaitan dengan persepsi kekuatan militer serta kegiatan ekonomi negara serta juga kekuatan media yang tersebut mampu memaksakan pandangannya terhadap opini rakyat internasional. Relevansi adalah konsep yang lebih lanjut kompleks dibandingkan tiga konsep sebelumnya, yang digunakan melibatkan persepsi warga luar negeri serta ini lebih besar sulit diprediksi atau dimanipulasi.
Di sinilah peran diplomasi diperlukan, yaitu untuk mempengaruhi presepsi, kebijakan kemudian perilaku pemerintah lalu warga asing. Diplomasi dilaksanakan melalui dialog, negosiasi, dan juga tindakan lain selain konflik atau kekerasan. Diplomasi merupakan instrumen utama kebijakan luar negeri kemudian merupakan dasar interaksi suatu negara dengan negara-negara lain dalam dunia.
Pada akhir abad ke-20 muncul salah satu bentuk diplomasi yaitu diplomasi lingkungan. Diplomasi lingkungan mengacu pada pemakaian diplomasi dan juga kerja identik internasional untuk mengatasi tantangan lingkungan global. Saat ini, tantangan global dikenal dengan triple planetary crisis yaitu 3 krisis global merupakan pembaharuan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, serta polusi.
Gagasan dari Tanah Air.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menggunakan istilah “leading by example” untuk menggambarkan bagaimana strategi diplomasi lingkungan Indonesia. Indonesi menguatkan posisinya pada planet internasional dengan terus-menerus berubah menjadi contoh bagi bumi di melindungi lingkungan dan juga mengatasi inovasi iklim. Keberhasilan Indonesia menurunkan deforestasi, mengatasi kebakaran hutan kemudian lahan, melakukan pemulihan habitat gambut lalu mangrove merupakan aksi nyata yang dimaksud telah dilakukan memperoleh pengakuan bumi sehingga meningkatkan kekuatan kedudukan (standing) Indonesia secara global.
Data deforestasi mulai periode 1996-2000 hingga periode pemantauan 2020-2021 menunjukkan bahwa deforestasi berhasil diturunkan pada titik terendah di 20 tahun terakhir yaitu pada bilangan bulat 0,11 jt ha. Berdasarkan hasil penafsiran citra Landsat 8 OLI tahun 2021 kemudian 2022 yang terekam pada tanggal 1 Juli 2021 sampai dengan 30 Juni 2022, laju deforestasi dan juga degradasi hutan pada Nusantara mencapai 104.032,9 ha, dengan rincian laju deforestasi pada pada kawasan hutan sebesar 73.130,4 ha kemudian di luar kawasan hutan/Area Pemanfaatan Lain (APL) sebesar 30.902,6 ha.
Kebakaran hutan juga lahan (karhutla) tahun 2023 berhasil ditekan tambahan kecil dibandingkan tahun 2019 dengan pengaruh El-Nino yang hampir sama, bahkan status 2023 tambahan kering. Luas karhutla tahun 2023 adalah 1.161.192 hektar sedangkan luas karhutla pada tahun 2019 adalah 1.649.258 ha. Luasan ini jarak jauh lebih lanjut kecil dibandingkan karhutla pada tahun 2015 yang dimaksud mencapai 2,61 jt ha.
Pemulihan ekosistem gambut berhasil dilaksanakan pada lahan seluas 5,57 jt hektar dengan perincian 3,93 jt ha di kawasan konsesi sedangkan pemulihan pemulihan dilahan masyarakat mencapai 1.692.480 ha. Rehabilitasi mangrove juga telah lama direalisasikan secarak marak di dalam beraneka pelosok tanah air juga juga ditandai dengan bervariasi inisiatif seperti World Mangrove Center dalam Bali.
Artikel ini disadur dari Diplomasi Aksi Iklim dan Kredit Karbon Indonesia